Jumat, 23 Maret 2012

BHUTA YADNYA

Beryadnya adalah merupakan salah satu kewajiban umat Hindu. Menikmati kesejahtraan hidup di atas dunia ini tanpa pernah memberikan balasan adalah pencuri. Keyakinan tersebut dilandasi oleh ajaran pustaka suci Bhagawad Gita yang menyatakan:
Istan bhogan hi vo deva dasyante yajnabhavitah tair dattan apradayai’ bhyo yo bhukte stena eva sah

Artinya:
Dipelihara oleh yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang engkau ingini. Ta yang menikmati pemberian pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepadaNya adalah pencuri (Bhagawad Gita, III : 12)
Atas dasar keyakinan tersebut umat Hindu menyadari telah cukup banyak menikmati anugerah Tuhan yang mengantarkan kehidupan ini dalam kesejahtraan dan kebahagiaan. Namun demikian tidak banyak yang dapat berbuat untuk melestarikan keharmonisan jagat raya ini agar selamanya dapat memberikan kesejahtraan dan kebahagiaan hidup di dunia.
Agama Hindu mengajarkan semua mahkluk dan seisi alam semesta ini dapat memberikan faedah bagi kehidupan, akan tetapi juga akan membahayakan dan mengancam kehidupan ini.
Oleh karena itu manusia perlu mengharmoniskan kehidupannya dan hukum alam semesta yang telah mengatur tatanan kehidupan di alam semesta ini. Ajaran agama Hindu telah
memberikan tuntunan kepada kita betapa mestinya umat manusia di dunia ini saling memelihara satu dengan yang lainnya akan memberikan kebaikan yang tertinggi.
Sahayajnah prajah srtva
puro’vaca prajapatih
amena prasavisyadhvam
eso vo’stv istakamadhuk
devam bhavayata’nena
ta deva bhavayantah
sreyah param avasyatha
Artinya:
Pada zaman dahulu kala prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda, dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dan keinginan. Dengan ini kamu memelihara para deva dan dengan ini pula para deva memelihara satu sama lain, engkau akan mencapai kebaikan yang maha tinggi. (Bhagawad Gita, III: 10 - 11).
Tiap-tiap pengorbanan adalah memberikan jalan bagi pertumbuhan jiwa dan pengorbanan mencari dasarnya pada keikhlasan berbuat untuk tujuan yang lebih mulia. Yadnya dalam weda diartikan sebagai penyerahan diri pada paramaatma (Hyang Widhi Wasa). Apa yang kita terima dari Hyang Widhi Wasa dipersembahkan kembali kepadaNya dalam bentuk yadnya.
Melalui berbagai bentuk yadnya umat Hindu membina pertumbuhan jiwa yang selaras dengan ajaran agama serta menyampaikan rasa angayu bagianya atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah menciptakan alam semesta beserta dengan segala isinya, menjadi tumpuan hidup di dunia ini.
Demikianlah melalui yadnya agama Hindu memberikan tuntunan secara simbolik betapa semestinya umat manusia memelihara dan menjaga keharmonisan alam semesta untuk dapat memberikan kesejahtraan dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi kehidupan di dunia ini. Tatanan yang harmonis dan tiga dunia ini (Tri Buwana) yaitu dunia atas, tengah dan bawah, demikian juga dengan adanya sumber air telah memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kehidupan di dunia. Melalui yadnya yang patut dilaksanakan secara periodik, agama Hindu mengikat untuk selalu memperhatikan dan menjaga kelsetarian Tn Bzvana serta dengan dengan sumber air yang diwujudkan melalui Tawur Eka Dasa Ludra, Panca Wali Krama, Tri Bhwana, Eka Bhwana atau Merebu Bhumi, Candi Narmada dan upacara Nyegjegang Bhatari Danu.
Sebelum upacara Eka Dasa Rudra patut didahului dengan upacara Candi Narmada di tepi laut, upacara nyegjegang Bhatari Danu di tepi danau. Selanjutnya setelah Eka Dasa Rudra patut diikuti kembali dengan rangkaian Tawur, yaitu Panca Wali Krama, Tri Bhuana dan Eka Bhuana atau Merebu Bhumi.
Dengan demikian upacara Candi Narmada, Nyegjeg Bhatari Danu dan Tri Bhuwana dimaksudkan sebagai penyucian dan peistarian alam semsta ini termasuk kelestarian air sebagai sumber kehidupan baik di laut maupun di danau. Melalui makna upacara tersebut kita mohon kepada Hyang Widhi Wasa dalam Prabhawanya sebagai penguasa atas tiga dunia ini, laut dan danau untuk menganugrahi kesejahtraän dan kebahagiaan kehidupan di dunia ini.
Agama Hindu meyakini dalam usaha mencapai kesejahtraan dan kebahagiaan hidup di dunia ketiga unsur penyebabnya yang diistilahkan dengan Tri Hita Karana, yaitu Tuhan sebagai Maha Pencipta, alam semesta sebgai tempat kehidupan di dunia ini, serta unsur manusia itu sendiri, perlu dijalin hubungannya yang harmonis. Hyang Widhi Wasa, kita dapat melaksanakan Karya Agung Candi Narmada, Nyegjegan Bhatari Danu, Tri Bhuwana dan Bhatara Turu Kabeh, sesuai dengan ketentuan.
Bhuta Yajna
Uraian khuss mengenai Bhuta Yadnya ini bermaksud untuk memberikan sekedar penjelasan pengertian dalam artian umum dan terutama ditujukan kepada generasi muda yang sudah mendalami ilmu pengetahuan secara ilmiah, dengan harapan semoga dapat memberikan kemantapan hati di dalam melaksanakan Bhuta Yadnya. Sampai saat ini belum ada para cendekiawan yang mau mengupas upacara Bhuta Yadnya secara populer sehingga angkatan muda kita banyak tanggapan yang keliru tentang kegunaan dan Bhuta Yadnya tersebut bahkan ada yang sampai berkata: “Apa gunanya kita membuat sesajen untuk Bhuta Kala nanti Bhuta Kalanya bisa bertambah ganas, bukanlah kita tidak memuja Bhuta Kala?”

Tanggapan semacam ini timbul karena kurangnya penjelasan atau informasi, dan yang berwenang, di samping itu dan sejak dulu nenek moyang kita melaksanakan upacara dengan dasar “gugon tuwon”. Mereka dengan taat melaksanakan walaupun mereka tidak bisa menganalisa secara ilmiah apa yang mereka buat, dan kalau ada orang yang menanyakan dijawab dengan singkat “mule keto” atau memang begitu. Bagi mereka pengertian banten-banten itu tidak diperlukan asal yang terpenting mereka percaya bahwa dengan “mecaru” atau membuat banten Bhuta Yadnya alam kita akan menjadi baik dan masyarakat akan selamat. Itu sudah cukup! Angkatan yang rasional terang tidak menerima jawaban yang sederhana ini karena mereka sudah berpengalaman menganalisa sesuatu itu secara logis atau ilmiah agar mereka biasa yakin dan percaya. Untuk itulah tulisan ini disusun walaupun belum bisa memberikan jawaban yang memuaskan secara keseluruhan.
Arti Bhuta Yadnya atau Mecaru
Di dalam arti umum Bhuta Yadnya adalah berarti korban (sacrifice) yang ditujukan kepada Bhuta Kala. Kata Bhuta Kala berasal dari kata bhu yang artinya menjadi, ada atau wujud. Kata bhu di dalam bentuk pasif past participle menjadi bhuta yang artinya telah dijadikan, telah diadakan, atau telah ada. Ada pula kata menurut Radhkrisnan di dalam bukunya Indian Philosopy disebutkan bahwa kala itu berarti energi atau kekuatan. Sedangkan kata kala juga berarti wakti.
Dalam pengertian filosofi bhuta kala itu berarti kekuatan yang negatif. Sedangkan di dalam pengertian umum di masyarakat bhuta kala itu digambarkan berwujud menakutkan mempunyai taring, matanya besar dan sebagainya serta mengerikan. Disamping kata bhuta kala, kita mengenal juga pancaniahabhuta yang diartika lima unsur benda yang terdiri dan :pertiwi (zat padat), apah (air/zat cair), teja (sinar/panas), wayu (udara /angin), dan akasa (semacam hampa udara).
Jadi kata bhuta ini berarti zat atau unsur sedangkan kala kekuatan, Di dalam lontar Purwabhumi Kemula dan Purwabhumi Tua disebutkan bahwa setelah Batara Siwa dan Betari Uma menciptakan segala isi dunia, maka Batara Siwa berubah wujud menjadi Bhatara Kala (maha kala). Bhatari Uma atau Bhatari Durga yang selalu dilukiskan sebagai lambang pradana yaitu lambang benda-benda duniawi dan Bhatara Kala, sebagai lambang dan energi atau kekuatan, maka kedua wujud beliau inilah yang menciptakan segenap Bhuta Kala. Kalau kita artikan secara arti kata maka Bhuta Kala itu adalah kekuatan dari lima unsur yaitu, tanah, air, angin, panas, akasa, atau segala benda yang sudah memiliki energi.
Kekuatan-kekuatan Bhuta Kala ini kalau kita konkretkan dengan kita lihat secara lahiriah sebagai gempa bumi, banjir, halilintar, angin topan, dan sebagainya. Di dalam pikiran nenek moyang kita semua kekuatan alam ini yang tidak atau belum sangup dikendalikan oleh manusia dibayangkan dan dipersonifikasikan dalam wujud yang menakutkan sebagai Bhuta Kala yang bertaring panjang. Bermata bulat dan menyala dan selalu mengganggu dan mau membunuh seisi dunia ini.
Kalau kita mengupas simbol-simbol yang digambarkan di dalam lontar Puwabhumi Kemulan yang menceritakan tentang penciptaan alam semesta ini Ida Sang Hyang Widhi maka akan jelas bahwa Ida Sang Hyang Widhi yang menciptakan dua hal yang pokok yaitu benda dan energi yang dilukiskan dalam bentuk Bhatari Uma (Durga) dan (Panca) Korsica dan Kelima (Panca) Korsica ini hanya Preanjala yang juga dikenal dengan nama Siwa atau Kala, merupakan sumbernya energi. Sebab itu Bhatara Siwa disebut juga Maha Kala yang berarti sumber energi dan Bhatari Durga adalah ibu alam semesta The Mother Goddess) sumber-sumber dan matahani. Dengan demikian maka lontar-lontar kita di Bali antara lain Purwa Bhumi Tattwa dan Purwa Bumi Kemulan dan Parwaka Bumi sebenarnya tidak menyimpang dan filsafat samkya dan wedanta tentang penciptaan dunia dengan segala isinya ini. Hanya saja, lontar-lontar kita selalu menggambarkan serta melukiskan kekuatan-kekuatan ini dalam wujud sebagai manusia atau mahluk.
Kekuatan-kekuatan yang baik diwujudkan di dalam bentuk sebagai Dewa yang serba bagus dan cantik sedangkan kekuatan buruk yang buruk dan merusak dilukiskan dalam bentuk bhutakala yang menakutkan dan mukanya buruk sifat-sifatnya yang selalu menimbulkan bencana. Bukankah kita merasakan alam kita tidak selalu memeberikan keuntungan ? karena disamping hasil bumi serta udara yang sehat kta dapat nikmati, juga berbentuk bencana sering pula kita alami, semua ini disebabkan karena kita tidak atau belum bisa mengendalikan kekuatan alam atau sepenuhnya. Air yang besar sebenarnya bisa banyak gunanya kalau kita bisa mengendalikan, demikian pula angin, tanah, dan matahari. Semuanya itu adalah : ciptaan Ida Sang Hyang Widhi. Mengapa manusia tidak bisa mengendalikan alam ini?

Hal ini disebabkan oleh karena keserakahan manusia itu sendiri, manusia ingin mengambil dan menikmati alam ini seenaknya saja dengan tidak memperhitungkan keharmonisan dan keseimbangan. Demikian tukang kayu membutuhkan kayu, maka hutan ditebang saja demikian rupa, mestinya dijaga hutan dan areal persawahan supaya harmonis dan seimbang, agar tidak menimbulkan banjir atau kekurangan air, malahan mereka merabasnya dengan serakah. Panas serta panasnya api harus dikendalikan secara harmonis agar dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya dengan tidak merusak lingkungan. Di dalam upacara agama kita mengenal kata caru, apakah artinya caru itu? Di dalam Sankrit-English dictionary oleh Sir Monier Williams kata caru itu diartikan enak, manis, sangat menarik.
Kalau kita mencoba menghayati sebenarnya di dalam kata enak, manis, menarik kini terkandung pengertian harmonis. Di dalam bahasa Bali dikenal dengan “pangus”, sesuatu yang indah yang ditimbulkan karena adanya keharmonisan dan keseimbangan.
Jadi kesimpulannya Bhuta Yadnya atau caru ini sebenarnya adalah pengorbanan manusia untuk menjaga keharmonisan alam semesta ini, karena alam kita inilah sebenarnya bhuta dan kekuatan-kekuatan alam inilah yang dilukiskan secara kontroversial, kekuatan alam yang baik digambarkan sebagai dewa-dewa, dimana kata dewa itu sebenarnya artinya sinar yang lain dan sinar dan sinar Ida Sang Hyang Widhi, sedangkan kekuatan alam yang merusak digambarkan sebagai bhuta kala walaupun anti sebenarnya adalah kekuatan alam yang belum tentu merusak tetapi selalu dihubungkan dengan dengan kekuatan-kekuatan yang merusak. Untuk itulah memiliki kewajiban untuk menjaga keharmonisan dan kekutan alam semesta ini agar selalu memberikan manfaat hidup. Tetapi mengapa umat Hindu di Bali mengendalikan alam semesta ini dengan upacara? Apakah dengan upacara sudah cukup bisa dikendalikan alam ini? Sebenarnya tidak demikian, kita selalu di dalam hidup kita berjuang menghadapi alam, dan sering kali kita lupa kadang-kadang kita tenlalu serakah mengambil isi alam ini sehingga menimbulkan polusi dan bencana. Sebab itulah maka perlu kembali untuk menjaga keseimbangan walaupun secara simbolik. Sebagai kias kiranya perlu kita berikan beberapa contoh perbandingan apa sebenarnya maksud dan tujuan dan upacara khususnya upacara” mecaru”. Dimana upacara keagamaan itu mengandung petunjuk-petunjuk yang dilukiskan secara simbolik sehingga perlu dikupas secara ilmiah agar kita dapat mengerti maksud dan tujuannya.
*) Diringkas dan tulisan Bhuta Yadnya karya Ida Pedanda Raka Klaci.
WHD. No. 527 November 2010

Sanātana Dharma


Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म “Kebenaran Abadi”), dan Vaidika-Dharma (“Pengetahuan Kebenaran”). kata Hindu berakar dari kata Sindhu. Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu.
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca sradha. Panca sradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
  1. Widhi Tattwa – percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
  2. Atma Tattwa – percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
  3. Karmaphala Tattwa – percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan
  4. Punarbhava Tattwa – percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
  5. Moksa Tattwa – percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia
Tujuan Agama Hindu
Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah “Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma“, yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin.
Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.
  1. Dharma berarti kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan.
  2. Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup manusia.
  3. Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan
  4. Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi atau pelepasan.
Untuk bisa menjalankan dharma diperlukan prilaku dasar yang disebut: Tri Kaya Parisuda artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu
  1. berpikir yang bersih dan suci (Manacika),
  2. berkata yang benar (Wacika)
  3. berbuat yang jujur (Kayika).
Dari tiap arti kata di dalamnya, Tri berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau prilaku; sedangkan Parisudha berarti “upaya penyucian”.Jadi “Trikaya-Parisudha berarti “upaya pembersihan/penyucian atas tiga perbuatan atau prilaku kita”.
Tri Kaya Parisudha yang menjadi konsentrasi pembahasan kali ini adalah merupakan salah satu aplikasi dan perbuatan baik (subha karma).
Secara hirarki bermula dan pikiran yang baik dan benarlah akan mengalir ucapan dan perbuatan yang baik dan benar pula. Jadi kuncinya adalah pada pikiran, yang dalam pepatah sama dengan “dan telaga yang jernihlah mengalir air yang jernih pula”. Kalau pikirannya kacau, apalagi memikirkan yang macam-macam dan bukan-bukan niscaya perkataan dan perbuatannyapun akan amburadul yang bermuara pada kehancuran dan penderitaan.
Cara pemujaan
Dalam usaha perjalanan manusia menuju kepada Tuhan, ada empat jalan yang harus ditempuh yaitu Catur Marga. Catur artinya empat dan Marga artinya jalan. Jadi Catur Marga artinya: empat jalan yang harus ditempuh dalam usaha manusia menuju kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Empat jalan itu disebut Catur Marga, yaitu:
  1. Yoga Marga / Raja Yoga : menuju pada kebenaran dengan jalan disiplin tertentu dengan metode-metode Yoga
  2. Jnana Marga/Jnana Yoga : menuju persatuan dengan Tuhan dengan cara terus menerus mempelajarinya
  3. Bhakti Marga/Bhakti Yoga : menyerahkan diri dengan tulus kepada Tuhan sebagai seorang poenyembah yang penuh kecintaan
  4. Karma Marga/Karma Yoga : menuju pembebasan dengan jalan bekerja tanpa mengharapkan hasil.
Konsep kemasyarakatan
Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ”Catur” berarti empat dan kata “warna” yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra.
  1. Warna Brahmana adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
  2. Warna Ksatrya adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
  3. Warna Wesya adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
  4. Warna Sudra adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan
Catur Asrama adalah empat tingkatan kehidupan yang wajib/ideal dijalani manusia Hindu selama hidupnya, yaitu : Brahmacari, Grhastha, Vanaprastha, dan Bhiksuka. Karena menjadi kewajiban, maka bila ada manusia Hindu yang tidak melaksanakan catur ashrama dengan baik, akan sia-sialah hidupnya di dunia ini.
  1. Brahmacari Asrama Adalah tingkat masa menuntut ilmu/masa mencari ilmu. Masa Brahmacari diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan pengakuan dan pemberian Samawartana (Ijazah).
  2. Grhasta Asrama Adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya).
  3. Wanaprastha Asrama Merupakan tingkat kehidupan ketiga. Dimana berkewajiban untuk menjauhkan diri dari nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma. Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/moksa dipraktekkannya dalam kehidupan sehari- hari.
  4. Sanyasin Asrama (bhiksuka) Merupakan tingkat terakhir dari catur asrama, di mana pengaruh dunia sama sekali lepas. Mengabdikan diri pada nilai-nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang benar. Pada tingkatan ini, ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke tempat suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Sang Pencipta untuk mencapai Moksa
Konsep keseimbangan
Tri Hita Karana
Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:
  1. Manusia dengan Tuhannya (Parhyangan)
  2. Manusia dengan alam lingkungannya (Palemahan)
  3. Manusia dengan sesamanya (Pawongan)
Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi:
  1. Sanghyang Jagatkarana. (tuhan)
  2. Bhuana (alam dan lingkungan)
  3. Manusia
Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut:
Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo’stiwistah kamadhuk – Bagawad Gita (III.10)
Artinya :
Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.
Konsep toleransi dan ketuhanan
Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana di dalam kitabWeda dalam salah satu baitnya memuat kalimat berikut:
Tat Twam Asi – (Candayoga Upanisad)
ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama
Ekam eva advityam Brahma – (Ch.U.IV.2.1)
Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.
Eko Narayanad na dvityo Sti kaccit – (Weda Sanggraha)
Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.
Bhineka Tungal Ika, tan hana Darma mangrwa – (Lontar Sutasoma)
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada Dharma yang dua.
Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa VadantiRg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46)
Hanya ada satu kebenaran tetapi para orang pandai menyebut-Nya dengan banyak nama.
Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham, mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah – (Bhagavad Gītā, 4.11)
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku, dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)
Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati, tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham – (Bhagavad Gītā, 7.21)
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ, te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam – (Bhagavad Gītā, IX.23)
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya, sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya, dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)
Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan yang tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Shiwa sebagai pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia Maha Tahu, berada di mana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan petunjuk-Nya agar dia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini. karena itu diperlukan Metode belajarreragama dalam Veda


ratyaksanumanagama.
Adapun orang yang dikatakan memiliki tiga cara untuk mendapat pengetahuan yang disebut Pratyaksa, Anumana, dan Agama.
Pratyaksa ngaranya katon kagamel. Anumana ngaranya kadyangganing anon kukus ring kadohan, yata manganuhingganing apuy, yeka Anumana ngaranya.
Pratyaksa namanya (karena) terlihat (dan) terpegang. Anumana sebutannya sebagai melihat asap di tempat jauh, untuk membuktikan kepastian (adanya) api, itulah disebut Anumana.
Agama ngaranya ikang aji inupapattyan desang guru, yeka Agama ngaranya. Sang kinahanan dening pramana telu Pratyaksanumanagama, yata sinagguh Samyajnana ngaranya.
Agama disebut pengetahuan yang diberikan oleh para guru (sarjana), itulah dikatakan Agama. Orang yang memiliki tiga cara untuk mendapat pengetahuan Pratyaksa, Anumana, dan Agama, dinamakan Samyajnana (serba tahu).
Kalau direnungkan secara mendalam segala benda maupun kejadian yang menjadi pengetahuan dan pengamalan kita sebenarnya semua didapat melalui Tri Pramana.
Agama Pramana
adalah suatu ukuran atau cara yang dipakai untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan mempercayai ucapan- ucapan kitab suci, karena sering mendengar petuah- petuah dan ceritera para guru, Resi atau orang- orang suci lainnya.
Ceritera- ceritera itu dipercayai dan diyakini karena kesucian batin dan keluhuran budi dari para Maha Resi itu. Apa yang diucapkan atau diceriterakannya menjadi pengetahuan bagi pendengarnya.
Misalnya: Guru ilmu pengetahuan alam berceritera bahwa di angkasa luar banyak planet- planet, sebagaimana juga bumi berbentuk bulat dan berputar. Setiap murid percaya kepada apa yang diceriterakan gurunya, oleh karena itu tentang planet dan bumi bulat serta berputar menjadi pengetahuan yang diyakini kebenarannya, walaupun murid- murid tidak pernah membuktikannya.
Demikianlah umat Hindu meyakini Sang Hyang Widhi Wasa berdasarkan kepercayaan kepada ajaran Weda, melalui penjelasan- penjelasan dari para Maha Resi atau guru- guru agama, karena sebagai kitab suci agama Hindu memang mengajarkan tentang Tuhan itu demikian.
Anumana Pramana
adalah cara atau ukuran untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan menggunakan perhitungan logis berdasarkan tanda- tanda atau gejala- gejala yang dapat diamati. Dari tanda- tanda atau gejala- gejala itu ditarik suatu kesimpulan tentang obyek yang diamati tadi.
Cara menarik kesimpulan adalah dengan dalil sebagai berikut:
YATRA YATRA DHUMAH, TATRA TATRA WAHNIH
Di mana ada asap di sana pasti ada api.
Contoh:
Seorang dokter dalam merawat pasiennya selalu mulai dengan menanyakan keluhan- keluhan yang dirasakan si pasien sebagai gejala- gejala dari penyakit yang diidapnya. Dengan menganalisa keluhan- keluhan tadi dokter dapat menyimpulkan penyakit pasiennya, sehingga mudah melakukan pengobatan.
Demikian pula jika memperhatikan keadaan dunia ini, maka banyak sekali ada gejala- gejala alam yang teratur. Hal itu menurut logika kita hanya mungkin dapat terjadi apabila ada yang mengaturnya.
Contoh:
Apabila kita memperhatikan sistem tata surya yang harmonis, di mana bumi yang berputar pada sumbunya mengedari matahari, begitu pula bulan beredar mengelilingi matahari pada garis edarnya, tidak pernah bertabrakan, begitu teratur abadi. Kita lalu menjadi kagum dan berpikir bahwa keteraturan itu tentu ada yang mengatur, the force of nature yaitu Sang Hyang Widhi Wasa.
Pratyaksa Pramana
adalah cara untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan cara mengamati langsung terhadap sesuatu obyek, sehingga tidak ada yang perlu diragukan tentang sesuatu itu selain hanya harus meyakini.
Misalnya menyaksikan atau melihat dengan mata kepala sendiri, kita jadi tahu dan yakin terhadap suatu benda atau kejadian yang kita amati. Untuk dapat mengetahui serta merasakan adanya Sang Hyang Widhi Wasa dengan pengamatan langsung haruslah didasarkan atas kesucian batin yang tinggi dan kepekaan intuisi yang mekar dengan pelaksanaan yoga samadhi yang sempurna.
Pertama;
  1. Saksi (ada Saksi yang melihat)
  2. Bukti, (ada atau tidak bukti kejadian)
  3. Ilikita, (Tertulis atau tidak)
Kedua:
  1. Sastratah (mempertimbangkan berdasarkan sumber tertulis/sastra)
  2. Gurutah (mempertimbangkan menurut Ajaran Gurui)
  3. Swatah (mempertimbangkan pengalaman sendiri)
Ketiga:
  1. Agama (mempertimbangkan menurut ajaran agama)
  2. Anumana (mempertimbangkan menurut pikiran sehat)
  3. Pratyaksa (mempertimbangkan apa yang dilihat secara langsung)
Keempat:
  1. Wartamana, (Mempertimbangkan sesuai pengalaman dahulu)
  2. Atita (mempertimbangkan keadaan sekarang)
  3. Nagata (mempertimbangkan keadaan yang akan datang)
Kelima:
  1. Rasa (mempertimbangkan dengan perasaan)
  2. Utsaha (mempertimbangkan atas prilakunya.
  3. Lokika (mempertimbangkan dengan pikiran logis)
Keenam:
  1. Sabda (mempertimbangkan dengan memberi saran)
  2. Bayu (mempertimbangkan dengan keyakinan yang kuat)
  3. Idep (mempertimbangkan dengan pikiran sehat)
Orang sering berbicara tentang logika  atau yang bersifat ilmiah yang artinya masuk akal.
Tidak sedikit orang mengatakan agama Hindu itu tidak masuk akal, ajaran Hindu tidak logis.
Padahal………………………
Kata logika – logic sendiri berasal dari kata Sanskrit yaitu lokika yang artinya mempertimbangkan secara logis.
Hindu yang mengajarkan manusia berpikir secara logika kok ajaran Hindu dibilang tidak logis?
sumber vedasastra.wordpress. com
Tags: Bhagavad-gita, Lontar, Science, tatwa, weda
Responses are currently closed, but you can
trackback from your own site.






Metode Beragama dalam Veda

Metode Beragama dalam Veda

Dalam ajaran Sanātana Dharma सनातन धर्म atau yang lebih dikenal dengan sebutan agama Hindu terdapat konsepsi ajaran yang disebut Tri Pramana.
Tri” artinya tiga, “Pramana” artinya jalan, cara, atau ukuran. Jadi Tri Pramana adalah tiga jalan/ cara untuk mengetahui hakekat kebenaran sesuatu, baik nyata maupun abstrak yang meliputi:
  1. Agama Pramana
  2. Anumana Pramana
  3. Pratyaksa Pramana
Dalam Wrhaspati Tattwa sloka 26 disebutkan:
Pratyaksanumanasca krtan tad wacanagamah pramananitriwidamproktam tat samyajnanam uttamam. Ikang sang kahanan dening pramana telu, ngaranya, pratyaksanumanagama.
Adapun orang yang dikatakan memiliki tiga cara untuk mendapat pengetahuan yang disebut Pratyaksa, Anumana, dan Agama.
Pratyaksa ngaranya katon kagamel. Anumana ngaranya kadyangganing anon kukus ring kadohan, yata manganuhingganing apuy, yeka Anumana ngaranya.
Pratyaksa namanya (karena) terlihat (dan) terpegang. Anumana sebutannya sebagai melihat asap di tempat jauh, untuk membuktikan kepastian (adanya) api, itulah disebut Anumana.
Agama ngaranya ikang aji inupapattyan desang guru, yeka Agama ngaranya. Sang kinahanan dening pramana telu Pratyaksanumanagama, yata sinagguh Samyajnana ngaranya.
Agama disebut pengetahuan yang diberikan oleh para guru (sarjana), itulah dikatakan Agama. Orang yang memiliki tiga cara untuk mendapat pengetahuan Pratyaksa, Anumana, dan Agama, dinamakan Samyajnana (serba tahu).
Kalau direnungkan secara mendalam segala benda maupun kejadian yang menjadi pengetahuan dan pengamalan kita sebenarnya semua didapat melalui Tri Pramana.

Agama Pramana

adalah suatu ukuran atau cara yang dipakai untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan mempercayai ucapan- ucapan kitab suci, karena sering mendengar petuah- petuah dan ceritera para guru, Resi atau orang- orang suci lainnya.
Ceritera- ceritera itu dipercayai dan diyakini karena kesucian batin dan keluhuran budi dari para Maha Resi itu. Apa yang diucapkan atau diceriterakannya menjadi pengetahuan bagi pendengarnya.
Misalnya: Guru ilmu pengetahuan alam berceritera bahwa di angkasa luar banyak planet- planet, sebagaimana juga bumi berbentuk bulat dan berputar. Setiap murid percaya kepada apa yang diceriterakan gurunya, oleh karena itu tentang planet dan bumi bulat serta berputar menjadi pengetahuan yang diyakini kebenarannya, walaupun murid- murid tidak pernah membuktikannya.
Demikianlah umat Hindu meyakini Sang Hyang Widhi Wasa berdasarkan kepercayaan kepada ajaran Weda, melalui penjelasan- penjelasan dari para Maha Resi atau guru- guru agama, karena sebagai kitab suci agama Hindu memang mengajarkan tentang Tuhan itu demikian.

Anumana Pramana

adalah cara atau ukuran untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan menggunakan perhitungan logis berdasarkan tanda- tanda atau gejala- gejala yang dapat diamati. Dari tanda- tanda atau gejala- gejala itu ditarik suatu kesimpulan tentang obyek yang diamati tadi.
Cara menarik kesimpulan adalah dengan dalil sebagai berikut:
YATRA YATRA DHUMAH, TATRA TATRA WAHNIH
Di mana ada asap di sana pasti ada api.
Contoh:
Seorang dokter dalam merawat pasiennya selalu mulai dengan menanyakan keluhan- keluhan yang dirasakan si pasien sebagai gejala- gejala dari penyakit yang diidapnya. Dengan menganalisa keluhan- keluhan tadi dokter dapat menyimpulkan penyakit pasiennya, sehingga mudah melakukan pengobatan.
Demikian pula jika memperhatikan keadaan dunia ini, maka banyak sekali ada gejala- gejala alam yang teratur. Hal itu menurut logika kita hanya mungkin dapat terjadi apabila ada yang mengaturnya.
Contoh:
Apabila kita memperhatikan sistem tata surya yang harmonis, di mana bumi yang berputar pada sumbunya mengedari matahari, begitu pula bulan beredar mengelilingi matahari pada garis edarnya, tidak pernah bertabrakan, begitu teratur abadi. Kita lalu menjadi kagum dan berpikir bahwa keteraturan itu tentu ada yang mengatur, the force of nature yaitu Sang Hyang Widhi Wasa.

Pratyaksa Pramana

adalah cara untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan cara mengamati langsung terhadap sesuatu obyek, sehingga tidak ada yang perlu diragukan tentang sesuatu itu selain hanya harus meyakini.
Misalnya menyaksikan atau melihat dengan mata kepala sendiri, kita jadi tahu dan yakin terhadap suatu benda atau kejadian yang kita amati. Untuk dapat mengetahui serta merasakan adanya Sang Hyang Widhi Wasa dengan pengamatan langsung haruslah didasarkan atas kesucian batin yang tinggi dan kepekaan intuisi yang mekar dengan pelaksanaan yoga samadhi yang sempurna.
Pertama;
  1. Saksi (ada Saksi yang melihat)
  2. Bukti, (ada atau tidak bukti kejadian)
  3. Ilikita, (Tertulis atau tidak)
Kedua:
  1. Sastratah (mempertimbangkan berdasarkan sumber tertulis/sastra)
  2. Gurutah (mempertimbangkan menurut Ajaran Gurui)
  3. Swatah (mempertimbangkan pengalaman sendiri)
Ketiga:
  1. Agama (mempertimbangkan menurut ajaran agama)
  2. Anumana (mempertimbangkan menurut pikiran sehat)
  3. Pratyaksa (mempertimbangkan apa yang dilihat secara langsung)
Keempat:
  1. Wartamana, (Mempertimbangkan sesuai pengalaman dahulu)
  2. Atita (mempertimbangkan keadaan sekarang)
  3. Nagata (mempertimbangkan keadaan yang akan datang)
Kelima:
  1. Rasa (mempertimbangkan dengan perasaan)
  2. Utsaha (mempertimbangkan atas prilakunya.
  3. Lokika (mempertimbangkan dengan pikiran logis)
Keenam:
  1. Sabda (mempertimbangkan dengan memberi saran)
  2. Bayu (mempertimbangkan dengan keyakinan yang kuat)
  3. Idep (mempertimbangkan dengan pikiran sehat)