Beryadnya adalah merupakan salah
satu kewajiban umat Hindu. Menikmati kesejahtraan hidup di atas dunia ini tanpa
pernah memberikan balasan adalah pencuri. Keyakinan tersebut dilandasi oleh
ajaran pustaka suci Bhagawad Gita yang menyatakan:
Istan bhogan hi vo deva dasyante yajnabhavitah tair dattan apradayai’ bhyo yo bhukte stena eva sah
Artinya:
Dipelihara oleh yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang engkau ingini. Ta yang menikmati pemberian pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepadaNya adalah pencuri (Bhagawad Gita, III : 12)
Atas dasar keyakinan tersebut umat Hindu menyadari telah cukup banyak menikmati anugerah Tuhan yang mengantarkan kehidupan ini dalam kesejahtraan dan kebahagiaan. Namun demikian tidak banyak yang dapat berbuat untuk melestarikan keharmonisan jagat raya ini agar selamanya dapat memberikan kesejahtraan dan kebahagiaan hidup di dunia.
Agama Hindu mengajarkan semua mahkluk dan seisi alam semesta ini dapat memberikan faedah bagi kehidupan, akan tetapi juga akan membahayakan dan mengancam kehidupan ini.
Oleh karena itu manusia perlu mengharmoniskan kehidupannya dan hukum alam semesta yang telah mengatur tatanan kehidupan di alam semesta ini. Ajaran agama Hindu telah
memberikan tuntunan kepada kita betapa mestinya umat manusia di dunia ini saling memelihara satu dengan yang lainnya akan memberikan kebaikan yang tertinggi.
Istan bhogan hi vo deva dasyante yajnabhavitah tair dattan apradayai’ bhyo yo bhukte stena eva sah
Artinya:
Dipelihara oleh yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang engkau ingini. Ta yang menikmati pemberian pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepadaNya adalah pencuri (Bhagawad Gita, III : 12)
Atas dasar keyakinan tersebut umat Hindu menyadari telah cukup banyak menikmati anugerah Tuhan yang mengantarkan kehidupan ini dalam kesejahtraan dan kebahagiaan. Namun demikian tidak banyak yang dapat berbuat untuk melestarikan keharmonisan jagat raya ini agar selamanya dapat memberikan kesejahtraan dan kebahagiaan hidup di dunia.
Agama Hindu mengajarkan semua mahkluk dan seisi alam semesta ini dapat memberikan faedah bagi kehidupan, akan tetapi juga akan membahayakan dan mengancam kehidupan ini.
Oleh karena itu manusia perlu mengharmoniskan kehidupannya dan hukum alam semesta yang telah mengatur tatanan kehidupan di alam semesta ini. Ajaran agama Hindu telah
memberikan tuntunan kepada kita betapa mestinya umat manusia di dunia ini saling memelihara satu dengan yang lainnya akan memberikan kebaikan yang tertinggi.
Sahayajnah prajah srtva
puro’vaca prajapatih
amena prasavisyadhvam
eso vo’stv istakamadhuk
devam bhavayata’nena
ta deva bhavayantah
sreyah param avasyatha
puro’vaca prajapatih
amena prasavisyadhvam
eso vo’stv istakamadhuk
devam bhavayata’nena
ta deva bhavayantah
sreyah param avasyatha
Artinya:
Pada zaman dahulu kala prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda, dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dan keinginan. Dengan ini kamu memelihara para deva dan dengan ini pula para deva memelihara satu sama lain, engkau akan mencapai kebaikan yang maha tinggi. (Bhagawad Gita, III: 10 - 11).
Pada zaman dahulu kala prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda, dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dan keinginan. Dengan ini kamu memelihara para deva dan dengan ini pula para deva memelihara satu sama lain, engkau akan mencapai kebaikan yang maha tinggi. (Bhagawad Gita, III: 10 - 11).
Tiap-tiap pengorbanan adalah
memberikan jalan bagi pertumbuhan jiwa dan pengorbanan mencari dasarnya pada
keikhlasan berbuat untuk tujuan yang lebih mulia. Yadnya dalam weda diartikan
sebagai penyerahan diri pada paramaatma (Hyang Widhi Wasa). Apa yang kita
terima dari Hyang Widhi Wasa dipersembahkan kembali kepadaNya dalam bentuk
yadnya.
Melalui berbagai bentuk yadnya umat
Hindu membina pertumbuhan jiwa yang selaras dengan ajaran agama serta
menyampaikan rasa angayu bagianya atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang
telah menciptakan alam semesta beserta dengan segala isinya, menjadi tumpuan
hidup di dunia ini.
Demikianlah melalui yadnya agama
Hindu memberikan tuntunan secara simbolik betapa semestinya umat manusia
memelihara dan menjaga keharmonisan alam semesta untuk dapat memberikan
kesejahtraan dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi kehidupan di dunia ini.
Tatanan yang harmonis dan tiga dunia ini (Tri Buwana) yaitu dunia atas, tengah
dan bawah, demikian juga dengan adanya sumber air telah memberikan
kesejahteraan dan kebahagiaan kehidupan di dunia. Melalui yadnya yang patut
dilaksanakan secara periodik, agama Hindu mengikat untuk selalu memperhatikan
dan menjaga kelsetarian Tn Bzvana serta dengan dengan sumber air yang
diwujudkan melalui Tawur Eka Dasa Ludra, Panca Wali Krama, Tri Bhwana, Eka
Bhwana atau Merebu Bhumi, Candi Narmada dan upacara Nyegjegang Bhatari Danu.
Sebelum upacara Eka Dasa Rudra patut
didahului dengan upacara Candi Narmada di tepi laut, upacara nyegjegang Bhatari
Danu di tepi danau. Selanjutnya setelah Eka Dasa Rudra patut diikuti kembali
dengan rangkaian Tawur, yaitu Panca Wali Krama, Tri Bhuana dan Eka Bhuana atau
Merebu Bhumi.
Dengan demikian upacara Candi
Narmada, Nyegjeg Bhatari Danu dan Tri Bhuwana dimaksudkan sebagai penyucian dan
peistarian alam semsta ini termasuk kelestarian air sebagai sumber kehidupan
baik di laut maupun di danau. Melalui makna upacara tersebut kita mohon kepada
Hyang Widhi Wasa dalam Prabhawanya sebagai penguasa atas tiga dunia ini, laut
dan danau untuk menganugrahi kesejahtraän dan kebahagiaan kehidupan di dunia
ini.
Agama Hindu meyakini dalam usaha mencapai kesejahtraan dan kebahagiaan hidup di dunia ketiga unsur penyebabnya yang diistilahkan dengan Tri Hita Karana, yaitu Tuhan sebagai Maha Pencipta, alam semesta sebgai tempat kehidupan di dunia ini, serta unsur manusia itu sendiri, perlu dijalin hubungannya yang harmonis. Hyang Widhi Wasa, kita dapat melaksanakan Karya Agung Candi Narmada, Nyegjegan Bhatari Danu, Tri Bhuwana dan Bhatara Turu Kabeh, sesuai dengan ketentuan.
Agama Hindu meyakini dalam usaha mencapai kesejahtraan dan kebahagiaan hidup di dunia ketiga unsur penyebabnya yang diistilahkan dengan Tri Hita Karana, yaitu Tuhan sebagai Maha Pencipta, alam semesta sebgai tempat kehidupan di dunia ini, serta unsur manusia itu sendiri, perlu dijalin hubungannya yang harmonis. Hyang Widhi Wasa, kita dapat melaksanakan Karya Agung Candi Narmada, Nyegjegan Bhatari Danu, Tri Bhuwana dan Bhatara Turu Kabeh, sesuai dengan ketentuan.
Bhuta Yajna
Uraian khuss mengenai Bhuta Yadnya ini bermaksud untuk memberikan sekedar penjelasan pengertian dalam artian umum dan terutama ditujukan kepada generasi muda yang sudah mendalami ilmu pengetahuan secara ilmiah, dengan harapan semoga dapat memberikan kemantapan hati di dalam melaksanakan Bhuta Yadnya. Sampai saat ini belum ada para cendekiawan yang mau mengupas upacara Bhuta Yadnya secara populer sehingga angkatan muda kita banyak tanggapan yang keliru tentang kegunaan dan Bhuta Yadnya tersebut bahkan ada yang sampai berkata: “Apa gunanya kita membuat sesajen untuk Bhuta Kala nanti Bhuta Kalanya bisa bertambah ganas, bukanlah kita tidak memuja Bhuta Kala?”
Tanggapan semacam ini timbul karena kurangnya penjelasan atau informasi, dan yang berwenang, di samping itu dan sejak dulu nenek moyang kita melaksanakan upacara dengan dasar “gugon tuwon”. Mereka dengan taat melaksanakan walaupun mereka tidak bisa menganalisa secara ilmiah apa yang mereka buat, dan kalau ada orang yang menanyakan dijawab dengan singkat “mule keto” atau memang begitu. Bagi mereka pengertian banten-banten itu tidak diperlukan asal yang terpenting mereka percaya bahwa dengan “mecaru” atau membuat banten Bhuta Yadnya alam kita akan menjadi baik dan masyarakat akan selamat. Itu sudah cukup! Angkatan yang rasional terang tidak menerima jawaban yang sederhana ini karena mereka sudah berpengalaman menganalisa sesuatu itu secara logis atau ilmiah agar mereka biasa yakin dan percaya. Untuk itulah tulisan ini disusun walaupun belum bisa memberikan jawaban yang memuaskan secara keseluruhan.
Uraian khuss mengenai Bhuta Yadnya ini bermaksud untuk memberikan sekedar penjelasan pengertian dalam artian umum dan terutama ditujukan kepada generasi muda yang sudah mendalami ilmu pengetahuan secara ilmiah, dengan harapan semoga dapat memberikan kemantapan hati di dalam melaksanakan Bhuta Yadnya. Sampai saat ini belum ada para cendekiawan yang mau mengupas upacara Bhuta Yadnya secara populer sehingga angkatan muda kita banyak tanggapan yang keliru tentang kegunaan dan Bhuta Yadnya tersebut bahkan ada yang sampai berkata: “Apa gunanya kita membuat sesajen untuk Bhuta Kala nanti Bhuta Kalanya bisa bertambah ganas, bukanlah kita tidak memuja Bhuta Kala?”
Tanggapan semacam ini timbul karena kurangnya penjelasan atau informasi, dan yang berwenang, di samping itu dan sejak dulu nenek moyang kita melaksanakan upacara dengan dasar “gugon tuwon”. Mereka dengan taat melaksanakan walaupun mereka tidak bisa menganalisa secara ilmiah apa yang mereka buat, dan kalau ada orang yang menanyakan dijawab dengan singkat “mule keto” atau memang begitu. Bagi mereka pengertian banten-banten itu tidak diperlukan asal yang terpenting mereka percaya bahwa dengan “mecaru” atau membuat banten Bhuta Yadnya alam kita akan menjadi baik dan masyarakat akan selamat. Itu sudah cukup! Angkatan yang rasional terang tidak menerima jawaban yang sederhana ini karena mereka sudah berpengalaman menganalisa sesuatu itu secara logis atau ilmiah agar mereka biasa yakin dan percaya. Untuk itulah tulisan ini disusun walaupun belum bisa memberikan jawaban yang memuaskan secara keseluruhan.
Arti Bhuta Yadnya atau Mecaru
Di dalam arti umum Bhuta Yadnya adalah berarti korban (sacrifice) yang ditujukan kepada Bhuta Kala. Kata Bhuta Kala berasal dari kata bhu yang artinya menjadi, ada atau wujud. Kata bhu di dalam bentuk pasif past participle menjadi bhuta yang artinya telah dijadikan, telah diadakan, atau telah ada. Ada pula kata menurut Radhkrisnan di dalam bukunya Indian Philosopy disebutkan bahwa kala itu berarti energi atau kekuatan. Sedangkan kata kala juga berarti wakti.
Di dalam arti umum Bhuta Yadnya adalah berarti korban (sacrifice) yang ditujukan kepada Bhuta Kala. Kata Bhuta Kala berasal dari kata bhu yang artinya menjadi, ada atau wujud. Kata bhu di dalam bentuk pasif past participle menjadi bhuta yang artinya telah dijadikan, telah diadakan, atau telah ada. Ada pula kata menurut Radhkrisnan di dalam bukunya Indian Philosopy disebutkan bahwa kala itu berarti energi atau kekuatan. Sedangkan kata kala juga berarti wakti.
Dalam pengertian filosofi bhuta kala
itu berarti kekuatan yang negatif. Sedangkan di dalam pengertian umum di
masyarakat bhuta kala itu digambarkan berwujud menakutkan mempunyai taring,
matanya besar dan sebagainya serta mengerikan. Disamping kata bhuta kala, kita
mengenal juga pancaniahabhuta yang diartika lima unsur benda yang terdiri dan
:pertiwi (zat padat), apah (air/zat cair), teja (sinar/panas), wayu (udara
/angin), dan akasa (semacam hampa udara).
Jadi kata bhuta ini berarti zat atau
unsur sedangkan kala kekuatan, Di dalam lontar Purwabhumi Kemula dan Purwabhumi
Tua disebutkan bahwa setelah Batara Siwa dan Betari Uma menciptakan segala isi
dunia, maka Batara Siwa berubah wujud menjadi Bhatara Kala (maha kala). Bhatari
Uma atau Bhatari Durga yang selalu dilukiskan sebagai lambang pradana yaitu
lambang benda-benda duniawi dan Bhatara Kala, sebagai lambang dan energi atau
kekuatan, maka kedua wujud beliau inilah yang menciptakan segenap Bhuta Kala.
Kalau kita artikan secara arti kata maka Bhuta Kala itu adalah kekuatan dari
lima unsur yaitu, tanah, air, angin, panas, akasa, atau segala benda yang sudah
memiliki energi.
Kekuatan-kekuatan Bhuta Kala ini
kalau kita konkretkan dengan kita lihat secara lahiriah sebagai gempa bumi,
banjir, halilintar, angin topan, dan sebagainya. Di dalam pikiran nenek moyang
kita semua kekuatan alam ini yang tidak atau belum sangup dikendalikan oleh
manusia dibayangkan dan dipersonifikasikan dalam wujud yang menakutkan sebagai
Bhuta Kala yang bertaring panjang. Bermata bulat dan menyala dan selalu
mengganggu dan mau membunuh seisi dunia ini.
Kalau kita mengupas simbol-simbol
yang digambarkan di dalam lontar Puwabhumi Kemulan yang menceritakan tentang
penciptaan alam semesta ini Ida Sang Hyang Widhi maka akan jelas bahwa Ida Sang
Hyang Widhi yang menciptakan dua hal yang pokok yaitu benda dan energi yang
dilukiskan dalam bentuk Bhatari Uma (Durga) dan (Panca) Korsica dan Kelima
(Panca) Korsica ini hanya Preanjala yang juga dikenal dengan nama Siwa atau
Kala, merupakan sumbernya energi. Sebab itu Bhatara Siwa disebut juga Maha Kala
yang berarti sumber energi dan Bhatari Durga adalah ibu alam semesta The Mother
Goddess) sumber-sumber dan matahani. Dengan demikian maka lontar-lontar kita di
Bali antara lain Purwa Bhumi Tattwa dan Purwa Bumi Kemulan dan Parwaka Bumi
sebenarnya tidak menyimpang dan filsafat samkya dan wedanta tentang penciptaan
dunia dengan segala isinya ini. Hanya saja, lontar-lontar kita selalu
menggambarkan serta melukiskan kekuatan-kekuatan ini dalam wujud sebagai
manusia atau mahluk.
Kekuatan-kekuatan yang baik
diwujudkan di dalam bentuk sebagai Dewa yang serba bagus dan cantik sedangkan
kekuatan buruk yang buruk dan merusak dilukiskan dalam bentuk bhutakala yang
menakutkan dan mukanya buruk sifat-sifatnya yang selalu menimbulkan bencana.
Bukankah kita merasakan alam kita tidak selalu memeberikan keuntungan ? karena
disamping hasil bumi serta udara yang sehat kta dapat nikmati, juga berbentuk
bencana sering pula kita alami, semua ini disebabkan karena kita tidak atau
belum bisa mengendalikan kekuatan alam atau sepenuhnya. Air yang besar sebenarnya
bisa banyak gunanya kalau kita bisa mengendalikan, demikian pula angin, tanah,
dan matahari. Semuanya itu adalah : ciptaan Ida Sang Hyang Widhi. Mengapa
manusia tidak bisa mengendalikan alam ini?
Hal ini disebabkan oleh karena keserakahan manusia itu sendiri, manusia ingin mengambil dan menikmati alam ini seenaknya saja dengan tidak memperhitungkan keharmonisan dan keseimbangan. Demikian tukang kayu membutuhkan kayu, maka hutan ditebang saja demikian rupa, mestinya dijaga hutan dan areal persawahan supaya harmonis dan seimbang, agar tidak menimbulkan banjir atau kekurangan air, malahan mereka merabasnya dengan serakah. Panas serta panasnya api harus dikendalikan secara harmonis agar dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya dengan tidak merusak lingkungan. Di dalam upacara agama kita mengenal kata caru, apakah artinya caru itu? Di dalam Sankrit-English dictionary oleh Sir Monier Williams kata caru itu diartikan enak, manis, sangat menarik.
Hal ini disebabkan oleh karena keserakahan manusia itu sendiri, manusia ingin mengambil dan menikmati alam ini seenaknya saja dengan tidak memperhitungkan keharmonisan dan keseimbangan. Demikian tukang kayu membutuhkan kayu, maka hutan ditebang saja demikian rupa, mestinya dijaga hutan dan areal persawahan supaya harmonis dan seimbang, agar tidak menimbulkan banjir atau kekurangan air, malahan mereka merabasnya dengan serakah. Panas serta panasnya api harus dikendalikan secara harmonis agar dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya dengan tidak merusak lingkungan. Di dalam upacara agama kita mengenal kata caru, apakah artinya caru itu? Di dalam Sankrit-English dictionary oleh Sir Monier Williams kata caru itu diartikan enak, manis, sangat menarik.
Kalau kita mencoba menghayati
sebenarnya di dalam kata enak, manis, menarik kini terkandung pengertian
harmonis. Di dalam bahasa Bali dikenal dengan “pangus”, sesuatu yang indah yang
ditimbulkan karena adanya keharmonisan dan keseimbangan.
Jadi kesimpulannya Bhuta Yadnya atau caru ini sebenarnya adalah pengorbanan manusia untuk menjaga keharmonisan alam semesta ini, karena alam kita inilah sebenarnya bhuta dan kekuatan-kekuatan alam inilah yang dilukiskan secara kontroversial, kekuatan alam yang baik digambarkan sebagai dewa-dewa, dimana kata dewa itu sebenarnya artinya sinar yang lain dan sinar dan sinar Ida Sang Hyang Widhi, sedangkan kekuatan alam yang merusak digambarkan sebagai bhuta kala walaupun anti sebenarnya adalah kekuatan alam yang belum tentu merusak tetapi selalu dihubungkan dengan dengan kekuatan-kekuatan yang merusak. Untuk itulah memiliki kewajiban untuk menjaga keharmonisan dan kekutan alam semesta ini agar selalu memberikan manfaat hidup. Tetapi mengapa umat Hindu di Bali mengendalikan alam semesta ini dengan upacara? Apakah dengan upacara sudah cukup bisa dikendalikan alam ini? Sebenarnya tidak demikian, kita selalu di dalam hidup kita berjuang menghadapi alam, dan sering kali kita lupa kadang-kadang kita tenlalu serakah mengambil isi alam ini sehingga menimbulkan polusi dan bencana. Sebab itulah maka perlu kembali untuk menjaga keseimbangan walaupun secara simbolik. Sebagai kias kiranya perlu kita berikan beberapa contoh perbandingan apa sebenarnya maksud dan tujuan dan upacara khususnya upacara” mecaru”. Dimana upacara keagamaan itu mengandung petunjuk-petunjuk yang dilukiskan secara simbolik sehingga perlu dikupas secara ilmiah agar kita dapat mengerti maksud dan tujuannya.
*) Diringkas dan tulisan Bhuta Yadnya karya Ida
Pedanda Raka Klaci.Jadi kesimpulannya Bhuta Yadnya atau caru ini sebenarnya adalah pengorbanan manusia untuk menjaga keharmonisan alam semesta ini, karena alam kita inilah sebenarnya bhuta dan kekuatan-kekuatan alam inilah yang dilukiskan secara kontroversial, kekuatan alam yang baik digambarkan sebagai dewa-dewa, dimana kata dewa itu sebenarnya artinya sinar yang lain dan sinar dan sinar Ida Sang Hyang Widhi, sedangkan kekuatan alam yang merusak digambarkan sebagai bhuta kala walaupun anti sebenarnya adalah kekuatan alam yang belum tentu merusak tetapi selalu dihubungkan dengan dengan kekuatan-kekuatan yang merusak. Untuk itulah memiliki kewajiban untuk menjaga keharmonisan dan kekutan alam semesta ini agar selalu memberikan manfaat hidup. Tetapi mengapa umat Hindu di Bali mengendalikan alam semesta ini dengan upacara? Apakah dengan upacara sudah cukup bisa dikendalikan alam ini? Sebenarnya tidak demikian, kita selalu di dalam hidup kita berjuang menghadapi alam, dan sering kali kita lupa kadang-kadang kita tenlalu serakah mengambil isi alam ini sehingga menimbulkan polusi dan bencana. Sebab itulah maka perlu kembali untuk menjaga keseimbangan walaupun secara simbolik. Sebagai kias kiranya perlu kita berikan beberapa contoh perbandingan apa sebenarnya maksud dan tujuan dan upacara khususnya upacara” mecaru”. Dimana upacara keagamaan itu mengandung petunjuk-petunjuk yang dilukiskan secara simbolik sehingga perlu dikupas secara ilmiah agar kita dapat mengerti maksud dan tujuannya.
WHD. No. 527 November 2010